HUKUM PERNIKAHAN ATAU PERKAWINAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia
sudah diatur oleh hukum baik itu hukum negara, hukum agama maupun hukum adat,
semuanya sudah diatur sedemikian mungkin. Didalam hal perkawinan juga telah
diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum
tentang perkawinan.
Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu
Rusyd menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni jumhur (Mayoritas Ulama)
berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah. Golongan Zhahiriah
berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu para ulam
malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib untuk
sebagian orang, Sunnah untuk sebagian orang, dan Mubah untuk segolongan
lainnya. Semua pendapat-pendapatan diatas berdasarkan pada kepentingan
kemaslahatan dan pendapat-pendapat diatas juga sudah mempunyai alasan-alasan.
Namun Ibnu Rusyd menambahkan bahwa perbedaan pendapat ini disebabkan adanya
penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits yang berkenaan
dengan masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah Mubah ?.
Sesuai dengan firman Allah Swt yang menyatakan :
“…Maka kawinilah wanita-wanita yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak bisa
berlaku adil maka kawinilah satu saja ”.
(QS. An-Nisa’ : 3). (Drs. H.M.
Rifai, 1978 : 454 ).
“ Dan kawinilah orang-orang yang
sendirian (janda) diantaramu, dan hamba sahaya laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan”.
“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan
kamu kawin, aku akan berlomba-lomba dengan umat-umat yang lain”. (Al-Baihaqi :
1229).
Terlepas dari pendapat para Imam /
Madzhab diatas yang berbeda pendapat didalam mendefinisikan dan menafsirkan
arti perkawianan. Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, islam sangat
menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan.
Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan
perkawinan serta tujuan dari perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu
dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Haram, makruh ataupun
Mubah .
(Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22)
1. Pernikahan hukumnya Waji
Bagi orang yang sudah mampu untuk
melangsungkan perkawinan, namun nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus
dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin, sedangkan untuk itu tidak dapat
dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.
Kata Qurtuby :
Orang bujang yang sudah mampu kawin dan
takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk menyelamatkan
diri kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang
wajibnya dia kawin. Allah berfirman :
“ Hendaklah orang-orang yang tidak
mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan
karunia-Nya,” (QS. An-Nuur : 33).
“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata :
telah bersabda Rasulullah saw, kepada kami : hai golongan orang-orang muda!
Siapa-siapa dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia berkawin, karena yang
demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan
barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri
bagimu”.(Ibnu Hajar Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).
2. Perkawinan hukumnya
Sunnah
adapun bagi orang-orang yang nafsunya
telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari
berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun
diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak
dibenarkan islam. Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa
Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya Allah menggantikan cara
kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita”. (Sayyid
Sabiq 6, 1996 : 23).
3. Perkawinan hukumnya
Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu
memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak
mendesak, haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar
tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak
istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan
keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak
istrinya. Allah berfirman :
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195).
(Al-qur’an dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 : 36)
4. Perkawinan hukumnya
Makruh
Makruh kawin bagi seorang yang lemah
syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan
istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga
makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan
sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.
5. Perkawinan hukumnya
Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh
alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang
mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN YG SAH
MENURUT SYARA’
Pernikahan yang sah harus
memenuhi rukun dan syarat. pernikahan yang sah harus memperhatikan larangan-larangan
Pernikahan sebagai tersebut di bawah ini.
B. BEBERAPA ASAS HUKUM PERNIKAHAN
Dalam membicarakan larangan Pernikahan
menurut hukum islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: 1) asas
absolut abstrak, 2) asas selektivitas dan asas legalitas. Asas absolut abstrak,
ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami istri
itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia
yang bersangkutan, Asas selektivitas adalah suatu asas dalam suatu Pernikahan
di mana seseorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan
siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia dilarangnya. Asas legalitas ialah
suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.
C. ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN
PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)
Asas selektivitas dirumuskan dalam
beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan
dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).
Ada bermacam-macam larangan menikah
(kawin) antara lain:
1. Larangan perkawinan karena berlainan
agama;
2. Larangan perkawinan karena hubungan
darah yang terlampau dekat;
3. Larangan perkawinan karena hubungan
susuan;
4. Larangan perkawinan karena hubungan
semenda;
5. Larangan perkawinan poliandri;
6. Larangan perkawinan terhadap wanita
yang di Li’ an;
7. Larangan perkawinan (menikahi)
wanita/pria pezina;
8. Larangan perkawinan dari bekas suami
terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga);
9. Larangan kawin bagi pria yang telah
beristri empat, dijabarkan satu per satu sebagai berikut:
. Larangan
Perkawinan Karena Berlainan Agama
Dasar hukumnya Al quran surah II ayat
221, yang berbunyi. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)
Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman
sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada
manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.
Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau
Dekat
Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan
keluarga), perkawinan antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat
itu akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan
kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali Jalan
Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).
A. Q. IV: 23a.
Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi
ibu kandung karnu.
B. Q .IV: 23b.
Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi
anak perernpuan kandungmu.
C. Q. IV: 23c.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi
saudara kandungmu yang perempuan.
Dilarang kamu (laki-laki) menikahi
saudara kandung perempuan dari ayah karnu.
Larangan di sini bukan berarti larangan
menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur akad nikah dengan ijab
qabul), tetapi juga termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan
hubungan seksual.
Bilamana kita hubungkan dengan
pengertian nikah menurut versi hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli
ialah hubungan seksual, sedangkan menurut syafi’ i nikah itu menurut pengertian
majazi (metheportic) adalah hubungan seksual antara seorang wan ita dengan
seorang pria.
Justru karena itu dalam pergaulan
sehari-hari an tara ayah dengan anak perempuan yang sudah dewasa (baligh),
demikian juga antara seorang anak laki-iaki dewasa dengan ibunya haruslah
dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang
maha esa tersebut (lihat pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10
desember 1979).
Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan
Masih dalam pembicaraan q. Iv: 23
terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena ada hubungan susuan.
Maksudnya ialah bahwa seseorang
laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pemah
menyusu (menetek) dengan ibu (wanita) yang sarna dianggap mempunyai hubungan
sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah an tara keduanya karena alasan
sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah
menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan menikah itu.
Ada dua pendapat tentang masalah
tersebut.
Pendapat pertama mengatakan bahwa
walaupun menyusu (menetek) itu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah
timbul larangan perkawinan antara anak laki-iaki yang menyusu itu bahkan juga
berlaku larangan bagi anak laki-iaki itu kelak dengan anak dari ibu (wanita)
tempat dia menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta
pengikut-pengikut mazhab hanafiah tersebut seperti juga, hambali dan imam
malik.
Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu
minimal 5 (lima) kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak
dipersoalkan kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali
itu, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul
larangan perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para
penganutnya.
Di samping itu berdasarkan penyelidikan
dari sudut medis (ilmu kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu barn
berproses menjadi darah dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila~ menyusui
itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi ramali: jalan menuju
kesehatan).
Berhubung dengan itu ada tendensi
(iebih banyak) bahwa pendapat imam syafi’i itu didukung oleh para faqih (para
sarjana islam) termasuk penulis.
Larangan perkawinan karena hubungan semenda
Hubungan semenda artinya ialah setelah
hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri
kamu (laki-laki).
Laki-iaki (kamu) telah menikahi
kakaknya yang perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah larangan perkawin
antara suami dari kakakladik perempuan itu dengan kakaknya ¬perempuan itu.
lazimnya di indonesia disebut kakak
adik ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara
ibu tiri dengan anak tir.
“jangan kamu nikahi perempuan yang
telah dinikahi oleh
Bapak kamu, perbuatan itu adalah
perbuatan jahat dan keji.”
larangan itu tentulah bersifat haram
apabila dilanggar dengan ketegasan kata-kata atau petunjuk Tuhan, bahwa
perbuatan itu adalah perbuatan yang jahat dan keji. Boleh ditafsirkan dengan
tambahan kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati, sangat
dibenci dan dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah
dinikahi oleh bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini ditujukan
bukan saja perempuan yang masih dalam hubungan perkawinan dengan bapaknya
maupun yang telah dicerai baik cerai hidup maupun mati.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
Abu qais bin Ai Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya
melamar bekas istri abu qais itu (menikahi bekas ibu tiri).
Berkata wanita itu, “saya menganggap
engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari kaumku.” maka menghadaplah
pemuda itu kepada rasul (nabi muhammad saw.) Bersabda rasul, “pulanglah engkau
ke romanmu.” Setelah Rasullallah berdoa turunlah. Q. IV: 22 tersebut.
Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath
thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.
Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman
jahiliyah anak laki-iaki yang ditinggal mati oleh bapaknya berhak atas diri ibu
tirinya, apakah akan menikahinya sendiri atau menikahkan dengan orang lain.
Ketika abu qais bin al aslat meninggal
muhsin bin qais (anak abu qais) menikahi bekas istri bapaknya itu dan tidak
memberikan suatu warisan apa pun kepada wan ita itu.
Mengadulah wanita itu kepada
rasululjah, mengenai haknya, setelah nabi muhammad saw. Berdoa turunlah q. Iv:
22 itu. Rawahul ibnu saad bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai qarthi.
Larangan perkawinan poliandri
Jangan kamu (laki-laki) menikahi
seorang wanita yang sedang bersuami.
Dari sudut wan ita ketentuan itu adalah
berupa larangan melakukan poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah
lagi dengan laki-iaki lain).
dalam suatu hadis rasul diriwayatkan
oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai berasal dari Abi Said Al
Chudri.
Dalam peperangan anthos dalam tahun
ke-2 pada waktu itu kaum muslimin mendapat kemenangan dan berhasil memperoleh
tawanan beberapa wanita ahlil kitab yang masih bersuami. Pada waktu
wanita-wanita itu mau dinikahi oleh kaum muslimin mereka menolak dengan alasan
masih bersuami.
MAKNA PERKAWINAN
Pengertian Secara Bahasa
Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan arti:
bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan.
Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya):
“Dan apabila ruh-ruh dipertemukan
(dengan tubuh)” (Q.S At-Takwir : 7)
dan firman-Nya tentang nikmat bagi
kaum mukminin di surga, yang artinya mereka disatukan dengan bidadari :
“Kami kawinkan mereka dengan
bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli (Q.SAth-Thuur : 20)
Karena perkawinan menunjukkan makna
bergandengan, maka disebut juga “Al¬-Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya
antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan
“zawaaja�?.
Pengertian Secara Syar’iah
Adapun secara syar’i perkawinan itu
ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan
perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan
syari’at.
Lafadz yang semakna dengan “AzZuwaaj”
adalah “An-Nikaah“; sebab nikah itu artinya saling bersatu dan saling
masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang maksud dari lafadz “An-Nikaah”
yang sebenarnya. Apakah berarti “perkawinan” atau “jima’”.
Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan
ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat
antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan
tersebut merupakan sebab adanya keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari
perbuatan keji.
B. HUKUM PERKAWINAN
An-Nikaah hukumnya dianjurkan, karena nikah itu termasuk sunnah Nabi
Shalallahu’alaihi Wassallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim bahwasanya telah berkata Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu:
Telah datang tiga orang ke rumah istri-istri nabi Shalallahu’alaihi Wassallam. Mereka bertanya tentang ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa amalnya sangat sedikit, lalu mereka berkata: “Dimana kita dibanding Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang”. Maka berkata seseorang di antara mereka, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selamanya”, dan berkata seorang lagi, “Aku akan berpuasa sepanjang masa,�? dan yang lainnya,”Aku akan meninggalkan wanita, tidak akan menikah�?. Lalu datang Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, kemudian beliau Shalallahu’alaihi Wassallam berkata:
‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku�?.
Telah datang tiga orang ke rumah istri-istri nabi Shalallahu’alaihi Wassallam. Mereka bertanya tentang ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa amalnya sangat sedikit, lalu mereka berkata: “Dimana kita dibanding Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang”. Maka berkata seseorang di antara mereka, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selamanya”, dan berkata seorang lagi, “Aku akan berpuasa sepanjang masa,�? dan yang lainnya,”Aku akan meninggalkan wanita, tidak akan menikah�?. Lalu datang Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, kemudian beliau Shalallahu’alaihi Wassallam berkata:
‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku�?.
Makna dari “barang siapa yang
membenci sunnahku” adalah berpaling dari jalanku dan menyelisihi apa yang aku
kerjakan, sedang makna “bukan dari golonganku” yakni bukan dari golongan yang
lurus dan yang mudah, sebab dia memaksakan dirinya dengan apa yang tidak
diperintahkan dan membebani dirinya dengan sesuatu yang berat. Jadi, maksudnya
adalah barang siapa yang menyelisihi petunjuk dan jalannya Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam, dan berpendapat apa yang dia kerjakan dari ibadah
itu lebih baik dari apa yang dikerjakan oleh Rasulullah . Sehingga makna dari
ucapan bukan dari golonganku” adalah bukan termasuk orang Islam, karena
keyakinannya tersebut menyebabkan kekufuran.
Hukum nikah ini sunnah untuk orang
yang bisa menanahan biologis dan tidak khawatir terjerumus ke dalam zina jika
dia tidak menikah, dan dia telah mampu untuk memenuhi nafkah dan tanggung
keluarga.
Adapun orang yang takut akan dirinya
terjerumus ke dalam zina, jika dia tidak nikah, atau orang yang tidak mampu
meninggalkan zina kecuali dengan nikah, maka nikah itu wajib atasnya. Dan untuk
masalah nikah secara panjang lebar terdapat dalam kitab-kitab Fiqh.
C. TUJUAN PERNIKAHAN
Sesungguhnya perintah itu ikatan
yang mulia dan penuh barakah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mensyari’atkan untuk
kemaslahatan hamba-Nya dan kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud-maksud
yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan yang terpenting dari tujuan
pernikahan ada dua, yaitu:
1. Mendapatkan keturunan atau anak
2. Menjaga diri dari yang haram
2. Menjaga diri dari yang haram
Maksud Pertama “Mendapatkan Keturunan atau Anak“
Dianjurkan dalam pernikahan tujuan
pertamanya adalah untuk mendapatkan keturunan yang shaleh, yang menyembah pada
Allah dan mendo’akan pada orangtuanya sepeninggalnya, dan menyebut-sebut
kebaikannya di kalangan manusia serta menjaga nama baiknya. Sungguh ada dalam
hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu
berkata : Adalah Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan belia bersabda :
berkata : Adalah Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan belia bersabda :
“Nikahkah oleh kalian
perempuan-perempuan yang pecinta dan peranak, maka sungguh aku berbangga dengan
banyaknya kalian dari para Nabi di hari kiamat.�?
Al Walud (banyak anak), Al Wadud
(pecinta), di mana dia mempunyai unsur-unsur kebaikan dan baik perangainya dan
mencintai suaminya, Al-Makaatsarat ialah bangga dengan banyaknya umat
shallallahu alaihi wa alaihi wa sallam di hari kiamat, maka Nabi,
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman Allah Sub,hanahu wa Ta’ala (yang artinya) :
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman Allah Sub,hanahu wa Ta’ala (yang artinya) :
“Dan Dia (Allah) telah menjadikan
bagimu dari istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu-cucu�?. (Q.S An-Nahl-72)
No comments:
Post a Comment