Monday, April 30, 2012

Bahasa indonesia


A. Pendahuluan
Dewasa ini kedudukan bahasa Indonesia semakin terjepit. Kita sering mendengar orang berdalih bahwa berbahasa itu yang terpenting lawan berbicara dapat memahami informasi yang kita sampaikan, dan tidak harus menggunakan bahasa yang baik dan benar sebagaimana yang diatur dalam bahasa Indonesia. Pretensi itu berkembang menjadi sebuah aksioma di tengah masyarakat. Dampaknya, bahasa Indonesia menjadi terabaikan.
Sepanjang sejarah bahasa Indonesia selalu mengalami perkembangan. Dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak menampik kenyataan terhadap masuknya bahasa lain. Justru bahasa-bahasa yang masuk itu dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 2006:7). Sungguhpun bahasa Indonesia diperkaya oleh bahasa lain, tetapi tidak sampai pada struktur bahasa secara keseluruhan. Karena itu, bahasa Indonesia tetap dapat menunjukkan jati dirinya.
Kenyataan memang tidak dapat dipungkiri. Kendati telah ditetapkan aturan baku tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi aturan tersebut masih diingkari oleh sebagian masyarakat kita. Bahkan, gejala merendahkan bahasa sendiri semakin nyata. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku berbahasa masyarakat kita dewasa ini.
Sikap bangsa Indonesia terhadap bahasa Indonesia cenderung ambivalen, sehingga terjadi dilematis. Artinya, di satu pihak kita menginginkan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan dapat mengikuti perkembangan zaman serta mampu merekam ilmu pengetahuan dan teknologi global, tetapi di pihak lain kita telah melunturkan identitas dan citra diri itu dengan lebih banyak mengapresiasi bahasa asing sebagai lambang kemodernan (Warsiman, 2006:42-43). Atas dasar itu, tidak heran jika para remaja masa kini lebih cenderung menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul sebagai bagian dari hidupnya jika mereka tidak ingin disebut ketinggalan zaman.
Interaksi global dalam berbagai bidang dewasa ini tidak bisa dihindari. Akibatnya proses transaksi nilai-nilai global dengan sendirinya juga akan terjadi. Bagaimana masyarakat kita dengan segala hasil budidayanya, termasuk bahasa Indonesia. Cita-cita menjadikan bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa dunia tidak cukup dengan meneriakkan heroic, tetapi perlu sikap nyata.
Tulisan ini akan mengupas tentang perjalanan bahasa Indonesia dalam rekaman sisi pengajaran pada masa dahulu, kini, dan yang akan datang. Selain itu, tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengingatkan kepada kita terhadap pentingnya bahasa Indonesia kita pergunakan dengan baik dan benar. Sepanjang kita berada di wilayah negara Indonesia, merupakan suatu keniscayaan untuk tetap mempergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah.
B. Sejarah Singkat Bahasa Indonesia
Sejak ditetapkan sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Lebih-lebih setelah pemerintah secara resmi mengangkatnya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, pemakaian bahasa Indonesia menjadi lebih luas. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan di negeri ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar perhubungan.
Sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa Indonesia tidak mungkin menghindari kontak dengan bahasa-bahasa lain, termasuk dengan bahasa daerah. Sebagaimana kita ketahui, bahasa daerah yang ada di negeri kita ribuan jumlahnya. Demikian pula masuknya bahasa asing sebagai konsekuensi perkembangan global, tidak mungkin kita hindari. Justru bahasa daerah dan bahasa asing tersebut dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 1979:7, dalam Warsiman, 2007:1-2).
Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, merupakan awal dari ketetapan bahasa Melayu secara de facto diangkat sebagai bahasa nasional. Pengangkatan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional didasarkan atas: 1) bahasa Melayu sudah lama menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara; 2) bahasa Melayu memiliki sistem yang sederhana; 3) bahasa Melayu mempunyai potensi untuk dikembangkan; dan 4) suku-suku lain di Indonesia dengan suka rela bersedia menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional (Mustakim, 1994:12).
Kesepakatan menerima bahasa Melayu (bahasa Indonesia) menjadi bahasa nasional secara resmi (de yure) tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36. Dalam pasal itu selengkapnya berbunyi, “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Sungguhpun bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa nasional, pemerintah tetap memelihara keberadaan bahasa-bahasa daerah sebagai bagian kekayaan budaya nasional.
Konsekuensi dari ketetapan itu, kedudukan bahasa Indonesia baik sebagai bahasa nasional maupun bahasa negara, pelestarian, pembinaan dan pengembangannya menjadi kewajiban bagi setiap warga negara yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus dilaksanakan dengan mewajibkan penggunaannya secara baik dan benar.
Untuk mengakomodasi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, khususnya sebagai bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern, pemerintah telah berupaya mengembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Berdasarkan catatan sejarah sejak, pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno membentuk dua belas kementerian, dan salah satu di antara lembaga kementerian itu adalah kementerian Pengajaran. Di bawah kementerian inilah pengajaran formal di sekolah-sekolah diselenggarakan (Rusyana, 1984:79).
Sebagai ketetapan mutlak dari pengejawantahan komitmen tersebut, bahasa Indonesia harus dipakai sebagai pengantar di setiap jenjang pendidikan yang diselenggarakan di seluruh tanah air. Sekalipun demikian, kedudukan bahasa daerah tetap berperan penting sebagai bahasa pengantar pada kelas-kelas awal, mengingat tidak semua anak negeri ini terlahir dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama.
Upaya pembinanaan dan pengembangan bahasa Indonesia terus dilakukan. Sejak tahun 1938 hingga dewasa ini setidaknya telah delapan kali kongres bahasa diselenggarakan. Kebijaksanaan pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya, terus dilakukan agar bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan, dan dapat menunjukkan jati dirinya.
C. Bahasa Indonesia Dahulu
Setelah kementerian pengajaran berdiri, penetapan kebijaksanaan bidang pengajaran mulai dijalankan. Tugas kementerian pengajaran tersebut di antaranya adalah menyusun rencana-rencana pengajaran. Salah satu bagian dari rencana pengajaran itu adalah rencana pengajaran bahasa Indonesia, mengingat Bahasa Indonesia pada waktu itu memiliki kedudukan amat penting sebagai identitas negara yang baru saja meraih kemerdekaan.
Kementerian pengajaran pada tahun 1946 secara resmi mengeluarkan rencana pelajaran. Rencana pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar misalnya, kementerian menetapkan alokasi jumlah jam terbesar di antara sebelas matapelajaran yang lain. Pada waktu itu model pelajaran di sekolah dasar masih menggunakan dua daftar jam pelajaran yang terbagi atas: sekolah dasar dengan satu bahasa dan sekolah dasar dengan dua bahasa. Sekolah dasar dengan satu bahasa yang dimaksud adalah sekolah tersebut hanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, sedangkan sekolah dasar dengan dua bahasa, selain menggunakan bahasa Indonesia, sekolah tersebut juga menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar terutama pada kelas-kelas permulaan (Rusyana, 1984:80). Hal ini sesuai dengan kerangka kurikulum sekolah dasar 1968 yang mengamanatkan pelajaran Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dari kelas I sampai dengan kelas VI, dan atau digunakan sebagai bahasa pengantar dari kelas IV sampai dengan kelas VI. Dasar dari dua kerangka ini tertuang dalam UU tentang Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 tahun 1950.
Berdasarkan ketetapan Undang-Undang tersebut, pengajaran Bahasa Indonesia dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama Bahasa Indonesia diajarkan sejak kelas I sampai dengan kelas VI, sedangkan kelompok kedua diajarkan sejak kelas III sampai dengan kelas VI. Dengan demikian, jika dihitung akan terdapat perbedaan jumlah jam pelajaran sebesar 340 jam pada kelompok pertama yang mengajarkan Bahasa Indonesia selama enam tahun dibandingkan dengan kelompok kedua yang hanya empat tahun. Dalam Kurikulum 1968 pelajaran Bahasa Indonesia mendapatkan alokasi jam pelajaran sebesar 1.680, dan alokasi jam pelajaran ini akan semakin banyak lagi dalam kurikulum tahun 1975, sehingga bidang studi Bahasa Indonesia menduduki jumlah jam pelajaran terbesar, yaitu delapan jam pelajaran pada setiap minggu dibandingkan dengan pelajaran yang lain yakni, antara dua sampai enam jam pelajaran (lihat Rusyana, 1984:80).
Selanjutnya, dalam amanat Undang-Undang itu tujuan umum pengajaran Bahasa Indonesia adalah untuk menanamkan, memupuk dan mengembangkan: (1) perasaan dan kesadaran nasional; (2) kecakapan berbahasa Indonesia lisan dan tulisan; (3) kecakapan berpikir dinamis, rasional dan praktis dalam bahasa Indonesia; dan (4) kemampuan memahami, mengungkapkan dan menikmati keindahan bahasa Indonesia yang sederhana baik lisan maupun tulisan (PPK, 1968:97, dalam Rusyana, 1984:82).
Bertolak dari tujuan tersebut upaya penyelenggaraan pengajaran Bahasa Indonesia dilakukan melalui prosedur pengembangan sistem intruksional, dengan rumusan tujuan sebagai berikut:1) tingkah laku murid. Bentuk tingkah laku yang dimaksud, pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan dapat membentuk sikap, perilaku dan kemampuan siswa dalam menggunakan Bahasa Indonesia; 2) Penetapan materi pelajaran. Penetapan materi pelajaran yang dimaksud, materi tersebut disesuaikan dengan tingkat dan jenjang pendidikan anak; 3) Perencanaan kegiatan belajar mengajar. Perencanaan kegiatan belajar mengajar yang dimaksud adalah penyiapan dengan sebaik-baiknya segala hal ikhwal berkaitan dengan proses pembelajaran, karena proses pembelajaran yang disiapkan dengan matang dapat menciptakan minat yang tinggi terhadap siswa untuk belajar bahasa; 4) Penetapan alat praga. Jika perlu guru dapat menciptakan alat praga sebagai sarana untuk memudahkan anak menerima materi pelajaran, dan 5) penetapan alat evaluasi. Maksudnya, guru menyiapkan seperangkat alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan anak setelah menerima materi pelajaran (cf. Depdikbud, 1976:15-16).
D. Bahasa Indonesia Kini
Sistem pendidikan di Indonesia sampai saat ini dianggap masih belum stabil. Setiap pergantian pejabat selalu menimbulkan masalah tersendiri. Jika ditengok perjalanan kurikulum pendidikan kita, selalu saja berganti-ganti. Yang terkini adalah diubahnya kurikulum berbasis kompetensi menjadi kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP), meskipun dengan dalih sebagai pengembangan kurikulum sebelumnya.
Banyak praktisi pendidikan yang bingung terhadap kebijaksaan tersebut. Yang lebih memperihatinkan, sering sebelum kebijaksanaan itu tersosialisasi dengan baik di tingkat bawah, telah muncul kebijaksanaan baru. Akibatnya para guru banyak yang putus asa, karena apa yang dilakukan selama ini, sebelum sampai pada tujuan yang ingin dituju, terpaksa harus berbalik arah.
Imbas dari kebijaksanaan itu dirasakan pula oleh guru-guru Bahasa Indonesia. Banyak guru Bahasa Indonesia yang turut kebingungan mengikuti arah kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, sehingga banyak pula diantara mereka yang akhirnya kembali mengajar dengan menggunakan pola lama.
Dengan ditetapkannya kebijaksanaan tentang ujian akhir nasional (UAN) oleh pemerintah, di sisi lain merupakan harapan baru bagi perkembangan Bahasa Indonesia. Dengan ketetapan itu mau tidak mau Bahasa Indonesia akan mendapatkan apresiasi yang besar di masyarakat, tetapi di lain pihak menjadi beban tersendiri bagi guru Bahasa Indonesia, karena mereka harus bekerja ekstra memenuhi dua tuntutan sekaligus. Di sisi lain ia harus pengajar memenuhi tuntutan kurikulum, dan di lain pihak ia harus mempersiapkan ujian akhir nasional.
Banyak terdengar suatu lembaga pendidikan menetapkan sebuah kebijaksanaan yang melaggar ketetapan kurikulum. Misalnya, lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan tiga bidang studi kepada siswa-siswanya pada tahun terakhir menjelang diselenggarakannya ujian akhir nasional, sedangkan matapelajaran lain diabaikan. Yang lebih parah lagi ada sekolah yang hanya mengadakan driil soal-soal UAN dari ketiga bidang studi yang akan diujikan tersebut, pada lima atau enam bulan menjelang diselenggarakannya UAN.
Pelajaran Bahasa Indonesia juga tidak luput dari kebijaksanaan itu. Banyak guru Bahasa Indonesia harus ikut-ikutan melakukan praktik tersebut agar mereka tidak disebut gagal dalam mengajar. Sebagaimana persepsi sebagian besar masyarakat, bahwa keberhasilan guru terletak pada keberhasilannya membawa anak mencapai nilai tertinggi, atau lulus pada ujian akhir nasional.
E. Bahasa Indonesia Akan Datang
Kendati pelajaran Bahasa Indonsia masuk dalam materi ujian akhir nasional (UAN), tetapi kenyataan ini tidak seperti yang kita harapan. Dalam UAN itu materi Bahasa Indonesia banyak berbicara tentang kebahasaan, dan belum sampai berbicara tentang terampil berbahasa. Padahal, dalam amanat kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia hendaknya mengajarkan anak agar trampil/mahir berbahasa, dan bukan sekedar mengajarkan anak menguasai tentang bahasa. Penguasaan tentang bahasa seharusnya dijadikan sebagai jembatan menuju anak terampil/mahir berbahasa.
Amanat kurikulum, pengajaran Bahasa Indonesia seharusnya diajarkan dalam tataran apektif dan psikomotorik, dan bukan hanya sekedar tataran kognitif. Karena itu, meskipun bahasa Indonesia masuk dalam ujian akhir nasional, tetapi hendaknya harus tetap memperhatikan kedua ranah itu sebagai indikator keberhasilan belajar berbahasa.
Diakui banyak guru kesulitan membuat alat ukur dari kedua ranah itu. Lebih-lebih jika kedua ranah itu harus dimasukkan ke dalam materi ujian akhir nasional. Namun, dapat dimaklumkan bila penetapan kelulusan tidak diputuskan sepenuhnya oleh pemerintah pusat, mengingat perkembangan sikap dan perilaku anak (apektif dan psikomotor), yang dianggap sulit dibuatkan alat ukurnya itu, tidak mungkin dapat diwakili oleh kemampuan kognitif saja yang dijadikan sebagai ukuran kelulusan oleh pemerintah. Selain itu, fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing sekolah maupun menurut wilayah penyelenggaraan juga berbeda-beda. Anak yang berada di wilayah Irian Jaya misalnya, tentu akan berbeda dengan anak yang berada di Jakarta atau di kota-kota besar lain yang nota bene memiliki fasilitas yang cukup dan serba mudah di jangkau. Hal-hal yang demikian ini perlu mendapat apresiasi dari para pengambil kebijakan.
Menurut pendapat penulis, penetapan kelulusan hendaknya melibatkan sekolah, karena perkembangan anak, baik segi apektif, psikomotor, lebih-lebih segi kognitif dari tahun ke tahun, bulan ke bulan bahkan, dari hari ke hari hanya sekolah yang dapat merekamnya.
Ke depan pelajaran Bahasa Indonesia selain mengujikan perihal kemampuan kognitif, hendaknya juga harus mengujikan kemampuan apektif dan psikomotorik anak, dan UAN boleh saja tetap diadakan untuk sekedar mengukur kemampuan kognitif, tetapi kemampuan apektif dan psikomotorik juga harus tetap diukur agar tercapai keseimbangan penilaian, dan itu adalah tugas sekolah secara langsung yang nota bene mengetahui perkembangan anak seutuhnya. Untuk hal ini kewenangan penetapan kelulusan seharusnya tidak dipegang oleh pemerintah pusat semata.
Selanjutnya, hal penting lainya yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah kewenangan guru mengajar. Tidak dapat dimungkiri bahwa selama ini banyak guru yang tidak memiliki keahlian bidang Bahasa Indonesia, tetapi mereka mengajarkan Bahasa Indonesia. Akibatnya, pelajaran Bahasa Indonesia tidak saja membosankan tetapi lebih parah lagi anak merasa benci dengan beban materi hapalan tentang kebahasaan yang diberikan oleh guru mereka.
Diharapkan ke depan pelajaran Bahasa Indonesia benar-benar diajarkan menurut amanat kuriklum, yakni menekankan pada keterampilan/kemahiran berbahasa anak, dan bukan hanyamonoton pada materi tentang kebahasaan yang membosankan itu. Demikian pula guru yang dipercaya mengajarkan matapelajaran Bahasa Indonesia hendaknya adalah guru yang benar-benar memiliki kompetensi dalam bidang tersebut, bukan guru yang dicomot untuk sekedar mengisi kekosongan tenaga pengajar. Kalau itu yang terjadi, Bahasa Indonesia akan berkembang dengan baik di tengah pemakainya.
F. Penutup
Kecenderungan mengunggulkan identitas asing akhir-akhir ini telah menjadi-jadi, tidak terkecuali bahasa. Hampir setiap gedung-gedung megah di Indonesia, terpampang tulisan-tulisan asing sebagai lambang kemodernan, sedangkan pemakai bahasa Indonesia dianggap kampungan dan telah ketinggalan zaman. Sikap yang demikian ini tentu akan melunturkan citra dan identitas bangsa.
Sebagai bahasa nasional dan juga sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam segala kegiatan resmi kenegaraan. Demikian pula di semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pengantar. Kebijaksanaan itu dimaksudkan agar bahasa Indonesia dapat berkembang secara wajar di tengah masyarakat pemakainya. Selain itu, upaya tersebut diharapkan pula dapat menjadi perekat persatuan suku yang ribuan jumlahnya ini menjadi satu bangsa yang besar yakni, bangsa Indonesia.
Dewasa ini apresiasi terhadap Bahasa Indonesia kembali mendapat angin segar. Setidaknya setelah pemerintah menetapkan Bahasa Indonesia sebagai salah satu dari ketiga matapelajaran yang masuk dalam ujian akhir nasional (UAN). Namun, banyak disayangkan bahwa kebijaksanaan tersebut belum mencerminkan harapan dan amanat kurikulum. Dalam amanat kurikulum, pengajaran bahasa Indonesia diharapkan anak kelak dapat terampil/mahir berbahasa, dan bukan sekedar memahami tentang kebahasaan. Karena itu, kemampuan apektif dan psikomotor juga perlu dinilai. Untuk menilai kedua ranah itu diperlukan keterlibatan sekolah yang nota bene mengetahui perkembangan segi apektif, psikomotor, lebih-lebih segi kognitif, sehingga otoritas penetapan kelulusan yang hanya dipegang pemerintah pusat perlu ditinjau kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1979. Membina bahasa Indonesia Baku. Bandung: Pustaka Prima
Depdikbud. 1975. Kurikulum Sekolah Dasar 1975: Buku I Ketetapan-Ketetapan Pokok. Jakarta: Balai Pustaka.
Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Warsiman. 2007. Kaidah bahasa Indonesia yang Benar: untuk Penulisan Karya Ilmiah(Laporan-Skripsi-Tesis-Desertasi). Bandung: Dewa Ruchi.

No comments:

Post a Comment