TEORI BELAJAR DAN
PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
A.
Teori Belajar Psikologi Behavioristik
Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[4]
Teori behavioristik menjadi dominan mewarnai pemikiran selama tahun 1950-an.
Teori behavioristik berpendapat bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh
sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan internal. Behavioristik berfokus
pada perilaku yang dapat diamati.[5]
Terdapat tiga macam teori
behavioristik, yakni: connectionism (koneksionisme), classical conditioning
(pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku respons).[7]
1. Koneksionisme
Teori koneksionisme (connectionism)
adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike
(1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an yang
menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Berdasarkan eksperimennya, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan
antara stimulus dan respons. Dari penelitiannya itu, Thorndike menemukan
hukum-hukum sebagai berikut:
(1) Law of effect yaitu jika sebuah
respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dengan
respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan
(menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan
respons tersebut.
(2) Law of readiness (hukum
kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme
itu berasal dari pendayagunaan conductions unit (satuan perantaraan). Unit-unit
ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut
Reber (1988), hanya bersifat historis.
(3) Law of exercise (hukum pelatihan)
ialah generalisasi in law of use and law of disuse. Menurut Hilgard
& Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau
digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use).
Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunkan maka
perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law
of disuse).[8]
2. Pembiasaan Klasik
Teori pembiasaan klasik (classical
conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh
Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol
hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah
sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya reflek tersebut (Terrace, 1973).
Berdasarkan eksperimen Pavlov
menyimpulakan bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya
hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang diadakan (CS)
selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau
lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki
yang dalam hal ini CR.[9]
3. Pembiasaan Perilaku Respons
Teori pembiasaan
perilaku respons (operant conditioning) ini diciptakan oleh Burrhus Frederic
Skinner (lahir tahun 1904). Tema pokok yang mempengaruhi karya-karyanya adalah
bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan
oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
“Operant”
adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan yang dekat (Rober, 1988). Respons dalam operant conditioning
terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan
oleh reinforce. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan
kamungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu.
Selanjutnya, proses
belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant
yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant
extinction. Menutut law of operant conditioning, jika timbulnya
tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah
laku tersebut akan meningkat. Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike,
Skinner, dan Pavlov di atas, jika renungkan dan bandingkan dengan teori dan
juga riset psikologi kognitif, mengandung banyak kelemahan, diantaranya:
a.
Proses itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian
gejalanya;
b. Proses
belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti mesin dan
robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan
diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan
karenannya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena
lelah atau berlawanan dengan kata hati;
c.
Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit
diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara
manusia dengan hewan.[12]
B. Teori
Belajar Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah cabang psikologi yang mempelajari proses mental
termasuk bagaimana orang berfikir, merasakan, mengingat, dan belajar. Bidang
psikologi kognitif sangat luas, tetapi umumnya dimulai dengan melihat bagaimana
masukan sensori berubah menjadi keyakinan dan tindakan melalui proses kognisi.
Pandangan ini
disebut fungsionalisme kausal atau fungsionalisme.[13]
1. Teori
Belajar Piaget
Jean Piaget adalah
seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam
penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap
anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu
tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang
keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun
tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.
Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun
pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan
jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan
kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya.
b. Tahap
Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini
sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan
dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa
dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya.
c.
Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini
anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam
sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang
datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi
konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang
ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda
tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas.
d. Tahap
Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak
sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan
operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan
masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah
2. Jerome
Bruner Dengan Discovery Learningnya
Bruner menekankan
bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini
bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive,
iconic dan simbolic. Pembelajaran enaktif mengandung sebuah
kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget.
Pengetahuan enaktif
adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek, melakukan pengetahuan
tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham
bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun
tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata,
bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Pembelajaran ikonik
merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak
mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka.
Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga
dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan
dalam kata-kata.
Pembelajaran
simbolik, ini merupakan pembelajaran yang
dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama
sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana
namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran
yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam
teori Piaget.
3. Teori
Belajar Bermakna Ausubel
Psikologi pendidikan
yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang
bermakna. Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful
learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar
bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
Menurut Ausubel
supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus
siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang
mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan
sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam
mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak
ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Belajar seharusnya
merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di
asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
a.
Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan dan
pengetahuan masa lalu peserta didik.
b.
Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang
peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan
mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan
dan pengetahuan bagaimana melakukannya.
Berdasarkan uraian di
atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana
peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan
materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki
siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
4. Teori
Belajar “Cognitive-Field” dari Lewin
Tokoh dari teori kognitif adalah Kurt
Lewin (1892-1947). Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Perubahan sruktur
kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan
kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu.
Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.[16]
C. Teori Belajar
Humanistik
Aliran psikologi
humanistik sangat terkenal dengan konsepsi bahwa esensinya manusia itu baik
menjadi dasar keyakinan dan mengajari sisi kemanusiaan. Psikologi humanistik
utamanya didasari atas atau merupakan realisasi dari psikologi eksistensial dan
pemahaman akan keberadaan dan tanggung jawab sosial seseorang. Psikologi
humanistik adalah perspektif psikologis yang menekankan studi tentang seseorang
secara utuh. Psikolog humanistik melihat perilaku manusia tidak hanya melalui
penglihatan pengamat, malainkan juga melalui pengamatan atas perilaku individu
mengintegral dengan perasaan batin dan citra dirinya.
Pendekatan pengajaran
humanistik didasarkan pada premis bahwa siswa telah memiliki kebutuhan untuk
menjadi orang dewasa yang mampu mengaktualisasi diri, sebuah istilah yang
digunakan oleh Maslow (1954). Aktualisasi diri orang dewasa yang mandiri,
percaya diri, realistis tentang tujuan dirinya, dan fleksibel. Mereka mampu
menerima dirinya sendiri, perasaan mereka, dan lain-lain di sekitarnya. Untuk
menjadi dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas
yang memungkinkan mereka menjadi kreatif.
Tujuan dasar
pendidikan humanistik adalah mendorong siswa menjadi mandiri dan
independen, mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif
dan tertarik dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar
mereka. Sejalan dengan itu, prinsip-prinsip pendidikan humanistik disajikan
sebagai berikut.
a.
Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik
percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika
terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
b. Tujuan
pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka
tentang cara belajar. Siswa harus memotivasi dan merangsang diri pribadi untuk
belajar sendiri.
c.
Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relavan dan hanya evaluasi diri
(selfevaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong siswa belajar untuk
mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi. Selain itu, pendidik
humanistik menentang tes objektif, karena mereka menguji kemampuan siswa untuk
menghafal dan tidak memberikan umpan balik pendidikan yang cukup kepada guru
dan siswa.
d.
Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat
penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif.
e.
Pendidik humanistik menekankan perlunya siswa terhindar dari tekanan
lingkunngan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Setelah siswa
merasa aman, belajar mereka menjadi lebih mudah dan lebih bermakna.[17]
D.
Teori belajar psikologi sosial
Teori belajar sosial
merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori
belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Jadi dalam teori
belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan (reinforcement)
eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar
dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya
didorong oleh kekuatan dari dalam saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus
lingkungan.
Teori belajar sosial
menekankan bahwa lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan
kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri.
A. Teori Pemodelan (Modeling)
Neil Miller dan John
Dollard (1941) dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan (imitation)
merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar
tersebut dinamakan pembelajaran sosial (social learning). Perilaku
peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika
kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya.
B. Unsur Utama Teori Pemodelan
Bandura meneliti beberapa
kasus, salah satunya ialah kenakalan remaja. Menurutnya, lingkungan memang
membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan. Dalam teorinya,
Bandura menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia
yaitu pembelajaran observasional (modeling) yang lebih dikenal dengan teori
pembelajaran sosial dan regulasi diri. Beberapa tahapan yang terjadi
dalam proses modeling:
1. Perhatian
(Attention)
Subjek harus memperhatikan
tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju
kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Bandura &
Walters(1963) dalam buku mereka Social Learning & Personality
Development menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain
pembelajaran dapat dipelajari.
2.
Mengingat (Retention)
Subjek
yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Ini
memungkinkan subjek melakukan peristiwa itu kelak bila diperlukan atau
diingini. Kemampuan untuk menyimpan
informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar.
3.
Reproduksi gerak (Reproduction)
Setelah mengetahui atau
mempelajari sesuatu tingkah laku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya
atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Jadi setelah
subyek memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk
benar-benar melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek lebih lanjut dari
perilaku yang dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.
4. Motivasi
Motivasi
juga penting dalam pemodelan karena ia adalah penggerak individu untuk terus
melakukan sesuatu. Jadi subyek harus
termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan. Menurut Bandura, ada
beberapa jenis motivasi yaitu:
- dorongan masa lalu, yaitu
dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksud kaum behavioris tradisional
- dorongan yang dijanjikan
(insentif) yaitu yang bisa kita bayangkan
- dorongan-dorongan yang tampak
jelas yaitu seperti melihat atau teringat akan model-model yang patut
ditiru
C. Jenis–jenis
Peniruan
Peniruan dipengaruhi oleh
interaksi antara ciri model dengan pengamatnya. Peniruan dapat dikelompokkan
dalam beberapa jenis sebagai berikut:
- Peniruan langsung, yaitu peniruan
yang dilakukan dengan cara seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu
melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan.
- Peniruan tak langsung, yaitu
peniruan yang dilakukan melalui imaginasi atau perhatian secara
tidak langsung misalnya meniru watak yang dibaca dalam buku, memperhatikan
seorang guru mengajar.
- Peniruan gabungan, yaitu
peniruan yang dilakukan dengan cara menggabungkan tingkah laku yang
berlainan (peniruan langsung dan tidak langsung) misalnya seorang pelajar
meniru gaya gurunya melukis dan cara mewarnai dari buku yang dibacanya.
- Peniruan sesaat/seketika, yaitu
tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja.
- Peniruan berkelanjutan, yaitu
tingkah laku yang ditiru dan ditonjolkan dalam situasi apapun misalnya
seorang pelajar meniru gaya bahasa gurunya.
D. Prinsip-prinsip
Modeling
Tingkat tertinggi belajar
dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasi sejak awal dan mengulangi
perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih
baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata–kata, tanda atau
gambar daripada hanya melihat saja. Teori belajar sosial dari Bandura ini
merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan
psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi tingkah laku. Proses belajar
masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara
karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri–ciri model
seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan, penting dalam
menentukan tingkat imitasi.
E. Kelemahan dan Kelebihan
Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial yang
dikemukan Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Hal ini karena teknik pemodelan tersebut berupa peniruan tingkah
laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam
mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu, jika manusia belajar atau membentuk
tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan (modeling), sudah pasti terdapat
sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga meniru tingkah laku
yang negatif, termasuk tingkah laku yang tidak diterima di masyarakatPendekatan
teori belajar sosial juga lebih ditekankan pada perlunya pembiasan merespon (conditioning)
dan peniruan (imitation). Selain itu pendekatan belajar sosial juga
menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan
anak–anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan
anak–anak, faktor sosial dan kognitif.
FAKOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR
1.
Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan
kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, keadaan tonus
jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas
belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh
positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang
lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh
karena itu, keadaan tonus jasmani sangat mempengaruhi proses belajar dan perlu
ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani.
Cara untuk menjaga kesehatan jasmani antara lain adalah:
a.
Menjaga pola makan yang sehat dengan memperhatikan nutrisi yang masuk
kedalam tubuh, karena kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan
tubuh cepat lelah, lesu, dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk
belajar.
b.
Rajin berolahraga agar tubuh selalu bugar dan sehat.
c.
Istirahat yang cukup dan sehat.
Kedua, keadaan fungsi
jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis
pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca indera.
Panca indera yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar
dengan baik pula. Dalam proses belajar, merupakan pintu masuk bagi segala
informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia dapat
menangkap dunia luar. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi
persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodik,
mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.
2.
Faktor psikologis
Faktor–faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat
mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi
proses belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.
-
Kecerdasan/intelegensi siswa
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam
mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara
yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas
otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Kecerdasan merupakan faktor
psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu
menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi intelegensi seorang individu,
semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Para ahli
membagi tingkatan IQ bermacam-macam, salah satunya adalah penggolongan tingkat
IQ berdasarkan tes Stanford-Biner yang telah direvisi oleh Terman dan Merill
sebagai berikut:
Distribusi Kecerdasan IQ menurut Stanford Revision
Tingkat Kecerdasan
(IQ)
|
Klasifikasi
|
140 - 169
|
Amat
superior
|
120 - 139
|
Superior
|
110 - 119
|
Rata-rata
tinggi
|
90 - 109
|
Rata-rata
|
80 - 89
|
Rata-rata
rendah
|
70 - 79
|
Batas
lemah mental
|
20 - 69
|
Lemah
mental
|
Dari tabel tersebut, dapat
diketahui ada tujuh penggolongan tingkat kecerdasan manusia, yaitu:
a.
Kelompok kecerdasan amat superior (very superior) merentang antara IQ 140 - 169
b.
Kelompok kecerdasan superior merentang antara IQ 120 - 139
c.
Kelompok rata-rata tinggi (high average) merentang antara IQ 110 - 119
d.
Kelompok rata-rata (average) merentang antara IQ 90 - 109
e.
Kelompok rata-rata rendah (low average) merentang antara IQ 80 - 89
f.
Kelompok batas lemah mental (borderline defective) berada pada IQ 70 - 79
g.
Kelompok kecerdasan lemah mental (mentally defective) berada pada IQ 20 - 69,
yang termasuk dalam kecerdasan tingkat ini antara lain debil, imbisil, dan
idiot.
-
Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan
belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan
belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam
diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku
setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku
seseorang.
Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik
dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal
dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu.
Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk
membaca karena membaca tidak hanya menjadi aktivitas kesenangannyatetapi sudah
mejadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh
yang efektif, karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung
pada motivasi dari luar(ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi
intrinsik untuk belajar anatara lain adalah:
a.
Dorongan ingin tahu dan ingin menyelisiki dunia yang lebih luas
b.
Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju
c.
Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari
orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, dan teman-teman.
d.
Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi
dirinya.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu
tetapi memberikan pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian,
peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, danlain sebagainya. Kurangnya
respons dari lingkungansecara positif akan mempengaruhi semangat belajar
seseorang menjadi lemah.
-
Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang
berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni :
1.
Menerima kesan,
2.
Menyimpan kesan, dan
3.
Memproduksi kesan.
Mungkin karena
fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan
untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima
kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek
didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya. Dalam konteks pembelajaran,
kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik
pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan
alat peraga kesannya akan lebih dalam pada siwa.
Hal lain dari ingatan
adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama
kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi
pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan
belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya
berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan
akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang
relatif lama.
-
Minat
Secara
sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat
bukanlah istilah yang popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya
terhadap berbagai factor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian,
keingintahuan, moativasi, dan kebutuhan.
Untuk membangkitkan
minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain:
1. Dengan
membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan,
baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang membebaskan siswa
mengeksplore apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa
(kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun
performansi guru yang menarik saat mengajar.
2.
Pemilihan jurusan atau bidang studi. Dalam hal ini,
alangkah baiknya jika jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa
sesuai dengan minatnya.
-
Sikap
Dalam proses
belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya.
Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespons dangan cara yang relatif tetap terhadap obyek, orang,
peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003).
Sikap juga merupakan
kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu yang membawa diri sesuia dengan
penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap
menerima, menolak, atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar.
Meskipun demikian, siswa dapat menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan
belajar tersebut.
Sikap siswa dalam
belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan
guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya
sikap yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru
yang profesional dan bertanggung jawab terhadap profesi yang dipilihnya.
-
Bakat
Faktor
psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum,
bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003).
Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan
umum yang dimiliki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah
kemampuan seseorang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses
belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang
dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga
kemungkinan besar ia akan berhasil.
Karena belajar juga
dipengaruhi oleh potensi yang dimilki setiap individu,maka para pendidik,
orangtua, dan guru perlu memperhatikan dan memahami bakat yang dimilki oleh
anaknya atau peserta didiknya, anatara lain dengan mendukung, ikut
mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai
dengan bakatnya.
3.
Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar
merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian
tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya.
Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan
bermacam – macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar
serta selingan istirahat. Dalam pengajaran klasikal, menurut Rooijakker,
kekuatan perhatian selama tiga puluh menit telah menurun. Ia menyarankan agar
guru memberikan istirahat selingan beberapa menit. Dengan selingan istirahat
tersebut, prestasi belajar siswa meningkat kembali. Turunnya perhatian dan
prestasi belajar tersebut yaitu sebagai berikut :
4. Rasa
Percaya Diri
Rasa
percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari
segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari
lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap
pembuktian “ perwujudan diri “ yang diakui oleh guru dan teman- temannya.Rasa
takut belajar tersebut terjalin secara komplementer dengan rasa takut gagal
lagi. Maka, guru sebaiknya mendorong keberanian siswa secara terus – menerus,
memberikan bermacam – macam penguat dan memberikan pengakuan dan kepercayaan
bagi siswa.
5.
Kebiasaan Belajar
Dalam
kegiatan sehari – hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik.
Kebiasaan belajar tersebut antara lain:
- Belajar pada akhir semester
- Belajar tidak teratur
- Menyia - nyiakan kesempatan
belajar
- Bersekolah hanya untuk bergengsi
- Dating terlambat bergaya seperti
pemimpin
- Bergaya jantan seperti merokok,
sok menggurui teman lain,
- Bergaya minta “ belas kasihan “
tanpa belajar.
6. Cita – cita Siswa
Pada
umumnya, setiap anak memiliki suatu cita – cita dalam hidup. Cita – cita itu
merupakan motivasi instrinsik. Tetapi, ada kalanya “ gambaran yang jelas “
tentang tokoh teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berprilaku
ikut – ikutan.
Cita –
cita sebagai motivasi instrinsik perlu dididikan. Penanaman memiliki cita –cita
harus dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan
pencapaian cita – cita sudah semakin terarah. Cita –cita merupakan wujud
eksplorasi dan emansipasi diri siswa. Penanaman pemilikan dan pencapaian cita
–cita sudah sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal
yang sederhana ke yang semakin sulit.
2. Faktor-faktor eksogen/eksternal
1. Lingkungan sosial
a.
Lingkungan sosial sekolah, seperti guru , administrasi, dan teman-teman sekelas
dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antra
ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baikdisekolah.
Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi
dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.
b.
Lingkungan sosial massyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal
siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak
pengangguran dan anak terlantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajarsiswa,
paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau
meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilkinya.
c.
Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar.
Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah),
pengelolaankeluarga, semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar
siswa. Hubungan anatara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang
harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
2. Lingkungan non sosial.
Faktor-faktor yang termasuk
lingkungan nonsosial adalah;
a.
Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak
dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap,
suasana yang sejuk dantenang. Lingkungan alamiah tersebut mmerupakan
factor-faktor yang dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila
kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.
b. Faktor
instrumental,yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama,
hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan
olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah,
peraturan-peraturan sekolah, bukupanduan, silabi dan lain sebagainya.
c. Faktor
materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Factor ini hendaknya disesuaikan
dengan usia perkembangan siswa begitu juga denganmetode mengajar guru,
disesuaikandengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat
memberikan kontribusi yang postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru
harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat
diterapkan sesuai dengan konsdisi siswa.